4 Golongan yang Dimurkai Allah

4 Golongan yang Dimurkai Allah

Setiap muslim pasti menghendaki agar diridhai, disenangi, dan dicintai Allah Swt.

Sebab itu, sebagai Muslim kita dituntut untuk melakukan hal-hal yang membuat Allah cinta dan ridha. Bukan hal-hal yang membuat Allah murka kepada hamba-hamba-Nya.

Di dalam Al-Qur’an dan hadits, banyak dalil yang menyebutkan perbuatan-perbuatan yang bila dilakukan manusia, maka Allah murka kepadanya. Di antara perbuatan manusia yang menyebabkan Allah murka kepadanya adalah sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw:

“Empat orang yang dimurkai Allah, yaitu: penjual yang suka bersumpah, fakir yang sombong, orang tua yang berzina, dan penguasa yang lalim.” (H.r. Nasa’i dan Baihaqi)

1. Pedagang yang Bersumpah

Dalam dunia perdagangan, sudah lumrah kalau pedagang ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan memberikan harga yang tinggi kepada pembeli.

Sementara pembeli juga ingin mendapatkan harga yang murah, sehingga mengajukan tawaran yang rendah.

Untung memang boleh diraih. Penawaran harga yang murah memang boleh dilakukan. Namun kejujuran antara pedagang dan pembeli haruslah diutamakan.

Tapi dalam dunia perdagangan sekarang, sangat sedikit (kalau tidak ingin disebut tidak ada) pedagang dan pembeli yang jujur. Bahkan ketidakjujuran itu dibingkai dengan sumpah palsu dalam rangka memuji barang dagangannya. Sehingga pembeli menjadi yakin bahwa barang yang mahal itu menjadi terasa murah. Ini membuat pembeli menjadi tambah tertarik dan membelinya.

Pedagang seperti ini amat dimurkai oleh Allah Swt.

Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu diantaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.” (QS. 16:94)

2. Orang Miskin yang Sombong

Kesombongan merupakan sesuatu yang dibenci Allah Swt. Orang kaya yang sombong bersebab kekayaannya saja Allah benci, apalagi orang miskin menyombongkan diri dalam soal harta. Ia menampakkan dirinya seperti orang kaya dengan penuh kesombongan.

Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.’” (QS. 28:76)

Karena kesombongan Qarun yang kaya itu, Allah Swt betul-betul mengazabnya di dunia ini sebagaimana firman-Nya yang artinya:

Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). Kalau Karun yang kaya raya tapi sombong dibenci dan diazab Allah Swt, apalagi orang miskin yang amat tidak pantas menyombongkan diri, maka bila ada orang miskin sombong, bisa jadi Allah lebih murka lagi. Tegasnya, tak ada tempat di sisi Allah buat siapapun yang menyombongkan diri, Allah berfirman yang artinya: Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (QS. 16:23)

Miskin dan kaya bukanlah ukuran ketakwaan kepada Allah. Keduanya bisa membawa manusia pada keselamatan, serta bisa pula menghadirkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.

3. Orang Tua yang Berzina

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. 24:2)

Tercelanya perbuatan zina pada dasarnya berlaku untuk semua kalangan manusia.

Namun bagi orang yang sudah tua, dengan usianya yang panjang dan sudah dapat dipastikan semakin dekat pada kematian, semestinya dia menjadi orang yang semakin dekat kepada Allah Swt. Bertaubat kepada-Nya dari segala dosa, serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan.

Karena itu, amat wajar kalau Allah Swt lebih murka kepada orang tua yang berzina ketimbang kepada orang muda yang berzina. Ini bersebab peluang bertaubat kepada yang muda lebih besar ketimbang kepada yang tua.

Kalau orang sudah tua tapi masih saja melakukan perzinahan, mau kemana lagi arah hidup yang hendak ditempuhnya. Tak heran, mereka pun kelak dimurkai oleh Allah.

4. Penguasa yang Lalim

Hadits di atas juga menyebutkan penguasa yang zalim termasuk manusia yang dimurkai Allah Swt. Hal ini karena penguasa semestinya menjadi pelayan bagi masyarakat, bukan malah sebaliknya.

Dalam kehidupan umat manusia, amat banyak penguasa yang maunya dilayani oleh masyarakat, bahkan cenderung menyakiti rakyatnya.

Oleh karena itu, manakala ada penguasa yang zalim, cepat atau lambat, dia akan tumbang dari kekuasaannya dengan berbagai cara dan sebab. Begitulah memang yang telah terjadi pada Fir’aun yang ditumbangkan oleh anak angkatnya sendiri, yakni Musa AS. Namruz yang ditumbangkan oleh Ibrahim AS. Abu Jahal dan Abu Lahab yang ditumbangkan oleh keponakannya sendiri, Nabi Muhammad Saw.

Di dalam Islam, kepemimpinan atau kekuasaan merupakan amanah yang tidak boleh disia-siakan. Bagi seorang Muslim, kesempatan memimpin akan selalu digunakan untuk syiar dan penegakan nilai-nilai Islam.

Apa pun kedudukan atau jabatan yang dipegangnya. Kepemimpinan bukan peluang untuk meraih keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya, apalagi hal itu akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah Swt. []

Siapakah yang Pertama Kali Membangun Masjid Al-Aqsha?

Siapakah yang Pertama Kali Membangun Masjid Al-Aqsha?

Masjid Al-Aqsha merupakan salah satu masjid kebanggaan umat Islam di seluruh dunia. Ia pun adalah kiblat pertama umat Islam.

Kemuliaannya bertambah sebab mengunjunginya menjadi Sunnah yang ditekankan setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Bahkan namanya diabadikan di dalam Al-Qur’an sebagai tempat Rasulullah Saw. hendak naik ke sidratul muntaha.

“Maha Suci Dzat yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, untuk Kami tunjukkan padanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (Qs. Al-Isra’: 1)

Masjid ini pun adalah masjid kedua yang dibangun di atas muka bumi.

Imam Bukhari dan Muslim menyebutkan, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ia bertanya pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi.

Rasul menjawab, “Masjidil Haram.”

“Selanjutnya masjid apa?” Abu Dzar melanjutkan tanya.

“Masjidil Aqsha,” Rasulullah menyahut.

Abu Dzar bertanya kembali, “Berapa lama jarak pembangunan keduanya?”

Rasulullah menjawab, “40 tahun.”

Jika Masjidil Haram mula-mula dibangun oleh para malaikat. Siapakah yang pertama kali membangun Masjid Al-Aqsha?

“Pendiri” Masjid Al-Aqsha

Adalah Hanafi Al-Mahlawi dalam buku Al-Amakin Al-Masyhuriyah fii Hayati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti yang dikutip Syahruddin El-Fikri dalam buku Sejarah Ibadah menyebutkan bahwa Masjid Al-Aqsha dibangun pertama kali oleh Nabi Ya’kub ‘alahissalam sekitar 2500 tahun SM.

Kemudian direnovasi oleh Nabi Daud pasca beliau menguasai kota Yerussalem dari masyarakat Yebusit. Selanjutnya Nabi Sulaiman menyempurnakannya, termasuk dengan membangun Haekal yang diklaim Yahudi sebagai hak mereka di atas tanah Palestina.

Sementara itu, makna nama Al-Aqsha sendiri berarti “yang terjauh”. Sebab jaraknya yang jauh dengan Ka’bah. “Sebagian ahli sejarah,” Ust. Salim A. Fillah menyebutkan dalam buku Lapis-Lapis Keberkahan, “menyatakan pula karena rentang waktu perjalanannya yang jauh. Dan dikatakan pula sebab ia telah dijauhkan dari segala kotoran yang menjijikkan.”

Beliau menambahkan, “Dan ia disebut Maqdis, menurut Imam Az-Zarkasyi dalam I’lamus Sajid bi Ahkamil Masajid, sebab ia dijauhkan dan dinihilkan dari berhala-berhala.”

Sungguh, berkunjung dan shalat di Masjidil Aqsha harus menjadi cita-cita bagi setiap Muslim. Beribu kemuliaan menanti para penziarahnya. Imam Ahmad dan Ibnu Majah bahkan membawa riwayat yang menyebut nilai shalat di sana adalah 1000 kali shalat di masjid lainnya.

Imam Ibnul Jauzy pun ketika menafsiri Ayat Isra’ dalam Zadul Masir menyatakan bahwa Masjid Al-Aqsha dilimpahi keberkahan duniawi yang amat luas.

Ia ada dalam hal penghidupan, makanan pokok, ladang, dan tanaman yang dibudidaykan para penduduknya.

Sungguh Allah telah menata musimnya, menurunkan hujannya, mengalirkan sungai-sungainya, mengembangbiakkan ternak-ternaknya, dan menumbuhkan buah-buahan yang bermacam rasa di berbagai musimnya.

Kawan, hampir seabad Zionis Israel mencengkramnya. Al-Aqsha masih menanti insan-insan pilihan yang akan memerdekannya. []

Hati Kamu Terasa Keras? Kenali 6 Penyebabnya!

Hati Kamu Terasa Keras? Kenali 6 Penyebabnya!

Pernahkah Anda merasa hidup itu terasa hampa?

Shalat Anda terkesan biasa saja. Hati Anda tidak bergetar ketika asma Allah disebut. Air mata tak menetes sebulir pun ketika Anda mengingat segala dosa.

Kawan, ketahuilah. Bisa jadi saat itu, hati Anda sedang mengeras. Membatu. Menghitam. Dan hanya menghitung waktu menuju kematiannya.

Kurang lebih, ada 6 penyebab hati Anda menjadi keras. Kenalilah! Dan segera menjauhlah.

1. Ketergantungan Hati Kepada Dunia serta Melupakan Akhirat

Kalau diri terlalu mencintai dunia melebihi akhirat, maka hati akan tergantung terhadapnya.

Lambat laun keimanan Anda menjadi lemah dan akhirnya merasa berat untuk menjalankan ibadah. Kesenangannya sekadar urusan dunia belaka. Akhirat terabaikan dan bahkan terlupakan.

Hatinya lalai mengingat maut, maka jadilah dia orang yang memanjang angan.

2. Lalai

Lalai merupakan penyakit yang berbahaya apabila telah menjalar di dalam hati dan bersarang di dalam jiwa. Sebab mengakibatkan anggota badan saling mendukung untuk menutup pintu hidayah.

Akhirnya hati pun menjadi terkunci.

Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itu lah orang-orang yang lalai.” (QS. 16:108)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa orang yang lalai adalah mereka yang memiliki hati keras membatu, tidak mau lembut dan lunak, tidak mempan dengan berbagai nasihat.

Dia bagai batu atau bahkan lebih keras lagi, karena mereka punya mata, namun tak mampu melihat kebenaran dan hakikat setiap perkara. Tidak mampu membedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan. Mereka juga memiliki telinga, namun hanya digunakan untuk mendengarkan berbagai bentuk kebatilan, kedustaan dan kesia-siaan.

Tidak pernah digunakan untuk mendengarkan al-haq dari Kitabullah dan Sunnah Rasul Shalallaahu ‘alaihi wassalam (Cek QS. Al A’raf: 179).

3. Kawan yang Buruk

Orang yang hidupnya di tengah gelombang kemaksiatan dan kemungkaran, bergaul dengan manusia yang banyak berkubang dalam dosa, banyak bergurau dan tertawa tanpa batas, banyak mendengar musik dan menghabiskan hari-harinya untuk film, maka sangat memungkinkan akan terpengaruh oleh kondisi tersebut.

Perlahan hatinya mengeras. Titik-titik hitam di dalam hati Anda, menjelma menjadi kegelapan yang menyelimuti cahaya hidayah.

4. Terbiasa Dengan Kemaksiatan dan Kemungkaran

Dosa merupakan penghalang seseorang untuk sampai kepada Allah. Ia merupakan pembegal perjalanan menuju kepada-Nya serta membalikkan arah perjalanan yang lurus.

Kemaksiatan meskipun kecil, terkadang memicu terjadinya bentuk kemaksiatan lain yang lebih besar dari yang pertama. Sehingga semakin hari semakin bertumpuk, tanpa terasa.

Dianggapnya hal itu biasa-biasa saja, padahal satu per satu kemaksiatan tersebut masuk ke dalam hatinya. Bahkan menjadi sebuah ketergantungan yang amat berat untuk dilepaskan.

Maka melemahlah kebesaran dan keagungan Allah di dalam hati. Dan melemah pula jalannya hati menuju Allah dan kampung akhirat. Sehingga menjadi terhalang dan bahkan terhenti. Tak mampu lagi bergerak menuju Allah.

5. Melupakan Maut, Sakarat, Kubur dan Kedahsyatannya

Termasuk seluruh perkara akhirat baik berupa adzab, nikmat, timbangan amal, mahsyar, shirath, Surga dan Neraka, semua telah hilang dari ingatan dan hatinya.

6. Melakukan Perusak Hati

Yang merusak hati sebagaimana dikatakan Imam Ibnul Qayyim ada lima perkara, yaitu banyak bergaul dengan sembarang orang, panjang angan-angan, bergantung kepada selain Allah, berlebihan makan, dan berlebihan tidur.

Allahu a’lam. []

7 Rekomendasi Buku Fikih Wanita Terbaik

7 Rekomendasi Buku Fikih Wanita Terbaik

Pembicaraan mengenai wanita selalu saja menarik.

Banyak buku yang khusus ditulis untuk menyingkap hakikat para wanita. Para ulama salaf maupun khalaf pun tidak ketinggalan. Mereka menulis kitab-kitab fikih yang dikhususkan bagi wanita. Sebab kata Rasul, wanita merupakan salah satu fitnah dunia. Setan beramai-ramai menyesatkan manusia dengan menjadikan wanita sebagai sarananya.

Untuk itu, wanita perlu dituntun. Sehingga kemilau akhlaknya melebihi bidadari surga. Sehingga kemuliaannya mampu mengantarkan anak, suami, ayah, dan saudara laki-lakinya menuju jannah-Nya.

Di antara kitab-kitab fikih tersebut, kami merangkum 7 kitab fikih wanita terbaik yang ditulis oleh ulama dari dalam maupun luar negeri. Dari ulama salaf maupun khalaf (kontemporer).

1. Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisaa’

Buku yang ditulis oleh Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah ini membahas segala aspek tentang wanita mulai dari thaharah, ibadah seperti shalat dan puasa, nikah, talak, wasiat, warisan (faraidh), hingga pergaulan wanita dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan Al-Quran dan sunnah.

Buku ini telah diterjemahkan oleh penerbit Pustaka Al-Kautsar dengan judul Fiqih Wanita Edisi Lengkap.

Hadir dengan dua tipe sampul, softcover dan hardcover. Meski pembahasannya cukup lengkap, mungkin sebagian orang masih menganggap ada beberapa bahasan yang tidak disertai dalilnya. Di beberapa tempat, struktur kalimatnya pun agak rumit. Sehingga skor untuk buku versi terjemahan tersebut kami nilai 4.5/5.

2. Fikih Wanita Praktis

Inilah salah satu buku fikih wanita terbaik yang ditulis oleh ulama asal Indonesia, DR. Darwis Abu Ubaidah, MA.

Buku ini memang tidak terlalu lengkap, namun cukup praktis untuk dijadikan rujukan. Ketidaklengkapan buku ini terletak pada luas pembahasannya dan dalil yang menyertai setiap pembahasan. Namun meski begitu, setiap pembahasan tetap merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah.

Salah satu kelebihan buku ini ialah di dalamnya dibahas pula beberapa kesalahan-kesalahan fikih yang kerap dilakukan wanita. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar dengan tebal 252 halaman. Skor untuk buku ini kami nilai 4/5.

3. Dalil Al-Mar’ah Al-Muslimah (Fikih Wanita)

Buku yang satu ini ditulis oleh pengajar fikih di Masjid Nabawi, DR. Ali bin Sa’id Al-Ghamidi.

Bagian pendahuluan buku ini membahas posisi wanita menurut peradaban-peradaban sebelum Islam lalu membandingkannya dengan konsep Islam yang memuliakan wanita sebagai seorang ibu, istri, anak, dan bagian dari masyarakat.

Selanjutnya Syaikh Al-Ghamidi membahas hubungan wanita dan rukun Islam, hak dan kewajiban wanita, hukum fikih mengenai wanita, serta pernikahan dan perhiasan wanita. Buku ini telah diterjemahkan oleh penerbit Aqwam dengan judul Fikih Wanita.

Karena pembahasannya yang cukup lengkap dan praktis, skor untuk buku ini kami nilai 4.8/5.

4. Shahih Fiqih Wanita

Sesuai namanya, buku ini lengkap membahas fikih wanita berdasarkan Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.

Buku yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ini berbicara mengenai hukum thaharah, ibadah, pernikahan, jual-beli, hingga warisan khusus wanita. Buku ini telah diterjemahkan oleh penerbit Akbarmedia dengan takhrij hadits dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Skor untuk buku versi terjemahan tersebut kami nilai 4/5.

Selain Syaikh Al-Utsaimin, Syaikh Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jamal juga menulis kitab serupa. Kitab tersebut telah diterjemahkan oleh penerbit Insan Kamil dengan judul yang sama.

Pembahasan di dalamnya tidak jauh berbeda. Ditambah beberapa fatwa ulama terkemuka, seperti Syaikh Shalih bin Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di, dan Syaikh Abdullah Al-Humaid.

5. Fiqih Wanita

Buku yang diterbitkan penerbit Jabal ini merupakan versi terjemah dari buku mengenai fikih wanita karangan DR. Yusuf Qaradhawi.

Selain membahas mengenai fikih seperti ibadah, pernikahan, dan muamalah, buku ini juga berisi mengenai adab pergaulan wanita, perlindungan bagi wanita, dan tinjauan fikih prioritas bagi wanita. Dari kelengkapan pembahasannya, skor untuk buku ini kami nilai 4/5.

6. Fiqhus Sunnah li An-Nisaa’ (Fikih Sunnah Wanita)

Buku karangan Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim ini telah diterjemahkan oleh beberapa penerbit, salah satunya Griya Ilmu.

Judul yang sederhana dan tampilan yang menarik membuat buku ini sering diborong pembeli. Pembahasan di dalamnya tidak jauh berbeda dengan kitab fikih wanita pada umumnya. Mulai dari thaharah, shalat, zakat, puasa, pakaian, pernikahan, hingga warisan.

Skor untuk buku ini kami nilai 4/5.

7. Fatawa An-Nisaa’

Terakhir, ada buku yang berisi kumpulan fatwa mengenai permasalahan wanita.

Fatwa-fatwa tersebut datang dari sejumlah ulama besar, seperti Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Shalih bin Fauzan, dan lain-lain.

Pembahasan di dalamnya tidak jauh berbeda dengan kitab fikih wanita karangan ulama lain. Hanya saja buku ini ditulis dengan format tanya jawab, sehingga terasa lebih menyentuh dunia realita. Buku ini telah diterjemahkan oleh Pustaka As-Sunnah dalam format dua jilid dengan judul Fikih Wanita.

Sebagai informasi, buku-buku di atas bisa Anda dapatkan melalui arslanesia.com atau hubungi kami di 0812 9968 4355 (Admin Hary).

5 Rekomendasi Buku Sirah Nabawiyah

5 Rekomendasi Buku Sirah Nabawiyah

Di tengah dekadensi moral saat ini, kita patut bersyukur karena cahaya Islam perlahan menyeruak kembali dan mendekati kejayaannya. Salah satu indikasinya ialah kemunculan penerbit-penerbit Islami yang tak henti mencetak berbagai karya ulama salaf maupun kontemporer.
Termasuk karya yang dicetak tersebut yakni buku-buku mengenai sejarah hidup Rasulullah Saw. serta perjalanan dakwah beliau selama di Mekkah-Madinah.

Buku mengenai Sirah Nabawiyah itu kini ada dalam beragam versi. Beda penerbit, bisa jadi beda pula penulisnya. Karena beda penulis, gaya penulisannya pun berbeda. Tak jarang, para pembaca bingung harus memilih mana Sirah Nabawiyah yang cocok bagi dirinya.

Padahal bisa jadi, ada versi penulisan yang hanya cocok bagi para akademisi, versi lain cocok bagi kalangan awam, serta ada yang ditulis untuk kader-kader dakwah.

Pada artikel kali ini akan ada 5 rekomendasi buku Sirah Nabawiyah serta penjelasan mengenai isi dan gaya kepenulisan para pengarangnya.

1. Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury

Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury ini merupakan pemenang pertama lomba kepenulisan sejarah hidup Rasulullah Saw. yang diadakan oleh Rabithah Alam Al-Islami.

Buku ini sangat cocok bagi orang awam dan mereka yang pertama kali membaca kisah hidup Rasulullah Saw. Model penulisannya terbilang sangat sistematis, mulai dari kelahiran Rasulullah hingga beliau wafat. Bahkan di bab awal ada pembahasan mengenai sejarah bangsa Arab. Pada bagian akhirnya pun dilengkapi biografi singkat dari para istri beliau Saw.

Ar-Rahiq Al-Makhtum telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan dicetak oleh beberapa penerbit, di antaranya Pustaka Al-Kautsar dan Ummul Qura’.

2. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam

Buku Sirah Nabawiyah versi Ibnu Hisyam merupakan salah satu buku sirah tertua.

Penulisannya cukup sistematis dan lengkap dengan hadits-hadits yang menjadi sandarannya.

Bagi orang awam, mungkin buku ini sedikit memusingkan. Karena Ibnu Hisyam menulis sejarah Rasulullah disertai riwayat-riwayat shahih yang menjelaskannya. Tapi bagi para akademisi, tentu hal tersebut tidak merepotkan. Sebab kehadiran riwayat-riwayat ini akan sangat membantu dalam menilai mana sejarah Rasulullah yang shahih dan mana yang telah ditambahi “bumbu penyedap”.

Kitab ini juga telah banyak diterjemahkan dan dicetak. Penerbit Darul Falah mencetaknya dalam dua jilid, sedangkan Akbarmedia menerbitkannya dalam satu jilid buku dengan ukuran yang lumayan tebal.

3. Fiqhus Sirah karya Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthy

Salah satu buku Sirah Nabawiyah terlaris di Indonesia ialah Fiqhus Sirah karya Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy ini.

Ulama asal Suriah tersebut mencoba menganalisis dan menemukan hikmah di balik perjalanan hidup Rasulullah Saw. Sangat cocok bagi Anda yang ingin merenungi serta memahami lebih dalam peri hidup Nabi Muhammad Saw. Buku ini tidak terlalu sistematis sebagaimana Ar-Rahiq Al-Makhtum. Penulis hanya memilih beberapa episode besar, lalu menjelaskan hikmah di balik episode tersebut.

Salah satu penerbit yang menerjemahkan dan menerbitkan buku ini ialah Rabbani Press.

4. Sirah Nabawiyah karya Musthafa As-Siba’i

Versi Sirah Nabawiyah ini hampir mirip dengan karya Syaikh Al-Buthy. Tetapi ukurannya lebih tipis.

Tidak cukup sistematis, tetapi mengambil beberapa episode besar lalu menghubungkannya dengan dakwah Islam. Sangat cocok bagi para aktivis Islam, aktivis dakwah kampus, dan mereka yang bergeliat di medan dakwah. Musthafa As-Siba’i mencoba mencari inspirasi mengenai strategi dakwah dari perjalanan hidup Rasulullah Saw.

Saat ini, bukunya telah diterjemahkan dan dicetak oleh setidaknya dua penerbit. Pertama, oleh Era Intermedia dan kedua oleh Pro-U Media dengan judul Muhammad Masih Hidup.

5. Sirah Nabawiyah karya Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi

Terakhir, ialah Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh seorang pakar sejarah ternama. Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Syaikh Ash-Shalabi ini seperti menghimpun isi Ar-Rahiq Al-Makhtum dan Fiqhus Sirah karya Syaikh Al-Buthy.

Penyusunannya lumayan sistematis disertai hikmah tersembunyi di beberapa episode kehidupan Rasulullah Saw. Tidak heran, buku ini bisa mencapai dua jilid ketika diterjemahkan.

Penerbit yang mencetak terjemahan buku ini antara lain Beirut Publishing dan Pustaka Al-Kautsar.

Demikianlah 5 rekomendasi buku Sirah Nabawiyah terbaik yang dapat Anda miliki melalui arslanesia.com atau menghubungi whatsapp kami di 0812 9968 4355 (Admin Hary).

Selamat membaca dan selamat menghidupkan kembali tradisi para ‘ulama kita.

Sering Maksiat? Taubat Dengan 7 Amalan Penghapus Dosa Ini

Sering Maksiat? Taubat Dengan 7 Amalan Penghapus Dosa Ini

Tumpukan dosa yang menggumpal bukan berarti tak bisa dihapus. Beragam kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas mampu meleburnya. Selama dosa tersebut bukanlah dosa besar yang menyebabkan kekafiran. Sebab kekafiran hanya bisa diganti dengan kembali dalam pelukan Islam.

Berikut ini adalah 7 contoh amalan yang dapat menjadi penghapus dosa.

Apa saja itu?

1. Taubat

Kesalahan bisa dilakukan siapa saja. Tak terkecuali ahli ibadah sekalipun.

Karenanya, orang yang terbaik bukan mereka yang tak pernah terjerembab dalam kekeliruan. Tapi, mereka yang selalu menyadari kesalahannya, lalu bertaubat. Dan tidak menunda taubatnya walau sedetik pun.

“Langsung bertaubat dari dosa,” tutur Imam Ibnul Qayyim, “merupakan keharusan yang tak bisa ditunda-tunda. Jika taubat ditunda, ia akan memunculkan maksiat lain akibat penundaan itu.”

Begitu pentingnya taubat karena ia adalah gerbang segala ampunan. Ia adalah wujud pengakuan hamba atas dosanya, dan jembatan pengakuan Allah bagi ampunan-Nya.

Taubatlah yang menjadi kunci kebaikan untuk menghapus dosa kesalahan seorang hamba.

Allah Ta’ala berfirman, “…Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Furqan: 70).

2. Sedekah

Setelah gerbang ampunan terbuka, ibadah berikutnya yang bisa melebur dosa adalah sedekah. Baik yang dilakukan dengan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Allah berfirman, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu) maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kamu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah: 271).

Rasulullah Saw bersabda, “…sedekah itu mematikan (melebur) kesalahan dan takwa itu membunuh kesalahan seperti air memadamkan api.” (H.r. Thabrani).

Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya.

Menurut terminologi syariah, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, baik hukum maupun ketentuan-ketentuan umum lainnya. Hanya saja, jika infak cenderung berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas.

Sedekah menyangkut juga hal yang bersifat non-materi. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah Saw menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, atau melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar termasuk sedekah.

Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Muslim, Rasulullah Saw menyebutkan bahwa tersenyum kepada saudara yang lain itu sedekah.

3. Jihad

Ibadah lainnya yang masih berkaitan langsung dengan harta dan pahalanya mampu melebur dosa adalah jihad. Jihad di jalan Allah yang dilakukan dengan ikhlas dapat menjadi penghapus dosa. Baik yang dilakukan dengan harta maupun jiwa.

…(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan ke dalam surga…” (QS. ash-Shaff: 11-12).

Karenanya, para sahabat Rasulullah saw selalu berlomba menyambut seruan jihad. Kendati mereka sudah menginfakkan harta, tapi itu tak membuat mereka puas untuk tidak ikut berjuang di jalan Allah.

Bagi mereka, syahid di jalan Allah adalah kunci utama untuk mendapatkan ampunan Allah.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Orang yang mati syahid akan diampuni dosanya pada percikan darah yang pertama, dan akan dikawinkan dengan dua bidadari dan akan memberi syafaat tujuh puluh dari anggota keluarganya…,” (H.r. Thabrani).

4. Wudhu

Bagi mereka yang tidak sempat berjihad bukan berarti pintu melebur dosa tertutup.

Ibadah sehari-hari yang kita lakukan dengan ikhlas dan sesuai tuntutan Rasulullah saw, juga bisa menghapus dosa.

Rasulullah saw bersabda, “Sesiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni. Sedangkan shalatnya, jalannya menuju masjid adalah amalan tambahan,” (H.r. Muslim dan Nasa’i).”

5. Shalat

Shalat merupakan kaffarah (penebus) dosa dan kesalahan seorang hamba.

Perumpamaan orang yang melakukan shalat lima waktu sehari semalam ibarat orang yang di depan rumahnya mengalir sungai dan ia mandi lima kali sehari. Tak akan ada kotoran yang tersisa.

Begitulah perumpamaan shalat lima waktu. Dengan shalat itu Allah akan melebur kesalahan-kesalahan (hamba-Nya),” ujar Rasulullah saw seperti diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi bahwa Rasulullah saw menegaskan, “Shalat lima waktu, shalat Jum’at menuju Jum’at berikutnya adalah penghapus dosa di antara mereka, selama dosa-dosa besar tidak dilanggar.”

6. Puasa

Ibadah puasa yang dilakukan dengan penuh keimanan dan hanya mengharap ridha Allah pun bisa melebur dosa. “Sesiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan ikhlas (mencari pahala karena Allah) maka diampunilah dosanya yang sudah lewat.” (H.r. Bukhari Muslim).

Apalagi jika puasa Ramadhan diikuti dengan puasa Syawal enam hari setelahnya. “Sesiapa yang puasa Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan ibunya,” demikian sabda Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath-nya.

Puasa ayyamul bidh (tiga hari setiap pertengahan bulan hijriyah) juga bisa menjadi pelebur dosa.

Dalam Mu’jam al-Kabir-nya Thabrani meriwayatkan, dari Maimunah binti Sa’ad bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dari setiap bulan tiga hari, siapa saja yang mampu melaksanakannya, maka (pahala) setiap harinya bisa melebur sepuluh kali kesalahan dan dia bersih dari dosa seperti air membersihkan pakaian.”

7. Haji

Kalau ibadah harian (seperti shalat), bulanan (seperti puasa sunnah), atau tahunan (seperti puasa Ramadhan) mampu melebur dosa, begitu juga dengan ibadah haji yang diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu.

Rasulullah saw bersabda, “Sesiapa yang melaksanakan haji, lalu tidak berbicara kotor dan tidak fasik, dia akan kembali (diampuni) dari dosanya sebagai mana ia dilahirkan ibunya,” (H.r. Bukhari Muslim).

Begitulah kesempurnaan Islam dan keutamaan umat Nabi Muhammad. Hari-harinya penuh dengan pahala yang mampu menjadi penghapus dosa kesalahannya.

Semoga dosa-dosa kita dihapus dan diampuni oleh-Nya. Aamiin. []

Inilah Bedanya Arti Barakallah Laka, ‘Alaika, Fiika, dan Biika

Inilah Bedanya Arti Barakallah Laka, ‘Alaika, Fiika, dan Biika

Salah satu cara mendoakan keberkahan bagi saudara kita semuslim ialah sebagaimana yang Rasulullah saw. pernah ajarkan:

بَارَكَ اللهُ لَكُماَ وَبَارَكَ عَلَيْكُماَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

Lafadz barakallah di atas berarti, “Semoga Allah melimpahi berkah kepada kalian berdua (saat dalam kebahagiaan), dan tetap melimpahi berkah atas kalian berdua (di saat dalam cobaan), dan Semoga Allah senantiasa mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan.”

Doa yang kerap dipakai untuk mendoakan pasangan pengantin ini semakin melejit seiring larisnya lagu Maher Zain yang berjudul sama: Barakallahu lakuma.

Tapi apakah kita sadar?

Mengapa pada kalimat pertama menggunakan lafadz “lakuma” sedangkan lafadz keduanya “alaikuma”? Apa perbedaan antara keduanya?

Belum lagi, kerap sebagian dari kita menggunakan lafadz “fiika” kepada sesamanya. Sehingga bunyi doanya menjadi Barakallahu fiika. Sedangkan lafadz Barakallahu laka hanya lazim dipakai pada pesta pernikahan (walimatul ‘ursy).

Sementara itu, ada juga loh yang menggunakan lafadz “biika”. Doa ini semakin banyak versinya.

Jadi, apa sih bedanya barakallahu laka, ‘alaika, fiika, dan biika?

Meski hanya berbeda satu huruf, tetapi para ahli bahasa ternyata berpendapat bahwa huruf jar yang mendampingi doa ini memiliki penekanan yang berbeda-beda. Bagi yang belum tahu apa itu huruf jar, coba lihat huruf lam, ‘ala, fa, dan ba yang berada pada doa tersebut. Nah, itulah contoh huruf jar. Bagaimana teorinya? Lain kali saja ya pembahasannya, hehe.

Yuk, kita simak dahulu perbedaan lafaz barakallah laka dan lainnya.

PERBEDAAN

1. Barakallahu laka berarti,

الدعاء له بالبركة فيما حصل عليه حديثا أو فيما رزقه الله

“Mendoakan keberkahan baginya atas hal yang baru terjadi padanya (berupa kenikmatan) atau yang Allah anugerahkan kepadanya.”

Atau bisa juga,

يبارك الله في الشئون الدنيوية المصلحية

“Semoga Allâh memberkahi segala urusan dunia yang mengandung maslahat.”

2. Barakallahu ‘alaika berarti,

يبارك الله في أمور الدين

“Semoga Allâh memberkahi dalam urusan agama.”

Sebab itu, pasangan pengantin kita doakan “Barakallahu laka wa barak ‘alaika” karena pernikahan merupakan anugerah yang menyangkut urusan dunia dan agama.

Lafadz ‘ala ini sangat menekankan pada urusan agama. Oleh karena itu lafadz shalawat berbunyi:

وبارك على محمد وعلى آل محمد

“Berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad.”

3. Barakallahu fiika berarti,

يبارك الله في الشخص بحيث أنه فاضل أو على خلق أو غير ذلك

“Semoga Allah memberkahi seseorang dari sisi keutamaan yang dimilikinya, atau karena akhlaknya, atau yang semisalnya.”

Maknanya serupa pula dengan,

كثر الله من أمثالك

“Semoga Allah memperbanyak orang sepertimu.”

4. Barakallahu biika berarti,

يبارك الله لك ولغيرك بسبب وجود هذا الشخص، بمعنى أن يكون سببا لحلول البركة عليك أو على الآخرين

“Semoga Allah memberkahimu dan selainmu lantaran adanya orang yang menjadi sebab datangnya barakah kepadamu dan kepada selainmu itu.”

Lafadz ini bisa kita gunakan bagi orang yang telah memberikan manfaat untuk kita maupun orang lain.

Itulah tadi perbedaan barakallah laka dan “teman-temannya”. Allahu a’lam.

15 Ulama yang Tidak Menikah

15 Ulama yang Tidak Menikah

Menikah merupakan salah satu ajaran penting di dalam Islam dan amat sesuai dengan fitrah manusia.

Hampir setiap manusia menginginkan pernikahan yang indah. Memiliki pasangan yang berakhlak baik dan keturunan yang shalih. Serta berharap seluruh anggota keluarga tetap bersama hingga meraih jannah.

Namun ternyata, ada beberapa ulama yang tidak menikah.

Usut punya usut, mereka bukan tidak ingin atau bahkan mengingkari syariat ini. Sebagian besar dari mereka adalah para pencinta ilmu. Waktu dan pikiran mereka habis untuk merenung, menulis, dan memikirkan permasalahan umat. Ditambah ada kekhawatiran, kesibukan mereka justru nanti membuat istri dan anak-anak mereka terlantar.

Siapa saja mereka?

Berikut di antara 15 ulama yang memutuskan untuk tidak menikah.

1. Abu Abdurahman Yunus bin Habib Al-Bashri (90-182 H)

Beliau merupakan seorang sastrawan dan ahli nahwu.

Banyak ulama yang belajar kepadanya seperti, Imam Sibawaih, al-Kisa’I dan al-Farra’.

2. Husain bin Ali Al-Ju’fi (119-203 H)

Orang sabar sekaligus tsiqah (terpercaya) dari Kufah.

Humaid bin Rabi’ al-Khazza berkata, “Kami telah menulis 10.000 hadits lebih dari Husain bin Ali al-Ju’fi.

3. Abu Nashr bin Al-Harits (150-227 H)

Lahir di Marwa 150 H, kemudian  sempat pindah ke Baghdad. Beliau meriwayatkan hadits dari Hammad bin Ziad, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Muhdi, Malik bin Anas, Abu Bakr bin Iyasy, Fudhail bin Iyadh dan lain-lain.

Banyak ulama yang meriwayatkan hadits darinya seperti, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibrahim al-Harbi, Zahir bin Harb, Sari as-Saqathi, Abbas bin Abdul Adzim, Muhammad bin Hatim dan lain-lain. Beliau wafat di usia 77 tahun.

4. Hannad bin As-Sariy (152-243 H)

Beliau merupakan ulama hadits dari Kufah. Diberi gelar raghib Kufah (pendeta Kufah) karena tidak menikah.

Usia beliau mencapai 91 tahun.

5. Abu Ja’far Ath-Thabari (224-310 H)

Beliau adalah ahli tafsir, hadits, dan fiqih. Lahir di daerah Amula, Tabaristan. Gemar mengembara ke Khurashan, Irak, Syam, dan Mesir untuk menuntut ilmu.

Telah hafal al-Qur’an pada umur 7 tahun, menjadi imam shalat sejak umur 8 tahun, menulis hadits sejak umur 9 tahun, mengembara ke daerah lain untuk menuntut ilmu sejak umur 12 tahun, dan menulis kitab sebanyak 40 lembar per hari selama 40 tahun.

Beliau memasuki kota Baghdad setelah Imam Ahmad wafat (241 H), sehingga tidak sempat bertemu dengannya.

Karya beliau, yaitu:

  1. Jami’ al-Bayan fi Wujuhi Ayi al-Qur’an
  2. Tarikh ar-Rasuli wal Anbiya’ wal Muluk wal Umam
  3. Tadzib al-Atsari wa Tafshil ats-Tsabit an Rasulillah n min al-Akhbari (belum selesai)
  4. Adab an-Nufus al-Jayyidah wal Akhlaq an-Nafisah

Abu Ja’far menulis hadits dari Ibnu Humaid sebanyak 100.000 hadits lebih ketika mengadakan perjalanan ke Kufah. Beliau mendengar hadits dari Abu Kuraib 100.000 hadits lebih.

6. Abu Bakar bin Al-Anbariy (271-328 H)

Beliau lahir di Baghdad. Kelebihan beliau ialah mampu menghafal 300.000 bait sya’ir yang memperkuat makna-makna al-Qur’an, serta hafal 120 tafsir al-Qur’an lengkap dengan sanad-sanadnya.

Beliau meninggalkan sekitar 30 kitab. Masing-masing kitab terdiri dati 50.000 lembar halaman lebih.

7. Abu Ali Al-Farisi (288-377 H)

Lahir di kota Fasa, Persia. Pada tahun 307 H, beliau pergi ke Baghdad untuk mencari ilmu dan tinggal disana.

Beliau mewarisi sekitar 25 kitab tentang Ulumul Qur’an dan bahasa Arab.

8. Abu Nashr As-Sijzi (wafat 444 H)

Nama lengkapnya ialah Ubaidilah bin Said Hakim bin Ahmad al-Waili al-Bakari. Beliau seorang hafidz dan imam para ahli hadits pada masanya.

Abu Ishaq al-Habbal berkata, “Pada suatu hari, aku berada di rumah Abu Nashr . Tiba-tiba ada seorang yang mengetuk pintu, maka aku berdiri membukakannya. Ternyata, dia seorang wanita yang membawa sebuah kantong uang berisi 1000 dinar. Dia meletakkkannya di hadapan Abu Nashr dan berkata, ‘Gunakanlah uang ini sesukamu!’

Abu Nashr pun bertanya, ‘Apa maksudmu?’

Wanita itu menjawab, ‘Menikahlah denganku. Sebenarnya aku tidak ingin menikah, tetapi aku hanya ingin membantumu.’

Mendengar itu, Syaikh Abu Nashr menyuruh wanita tersebut untuk mengambil kantong berisi uang itu dan membawanya keluar.

Setelah wanita itu keluar, Syaikh Abu Nashr berkata, ‘Aku datang dari negeriku, Sajastan. Dengan niat menuntut ilmu. Jika aku menikah, maka niatku itu akan luntur dan melemah. Oleh karena itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang dapat memalingkanku dari menuntut ilmu.’”

9. Abu Sa’ad As-Samman (371-445 H)

Beliau seorang hafidz, zuhud, menguasai ilmu qira’at, hadits, rijal, fara’id dan hisab. Abu Sa’ad belajar kepada 3000 ulama pada masanya dengan melakukan perjalanan ke Irak, Syam, Hijaz dan Maghrib.

Salah satu perkataannya yang terkenal ialah, “Barangsiapa yang tidak menulis hadits, maka ia tidak bisa merasakan manisnya Islam.”

Wafat di kota Rayyi dalam keadaan senyum. Beliau lantas dimakamkan di gunung Tabarak, dekat makam imam Asy-Syaibani pada usia 74 tahun.

10. Abu Barakat Al-Baghdadi (462-538 H)

Beliau seorang hafidz, alim, dan ahli hadits dari Baghdad. Beliau mendengarkan hadits dari Abu Muhammad Hazarmurdi ash-Sharifini, Abu Husain bin Naqur, Abu Qasim Abdul Aziz bin Ali Anmathi, Ali bin Muahammad al-Bundar dan lain-lain.

Karya beliau di antaranya adalah kitab al-Ja`diyat, Musnad Ya’kub al-Fasawi, Musnad Ya`kub al Fawasi, Musnad Ya’kub as-Sadusi dan intiqa al-Baqqal.

Banyak juga ulama yang meriwayatkan hadits darinya, seperti Ibnul Jauzi, Abu Sa’ad as-Sam’ani, Ibnu Asakir, dan lain-lain.

11. Ibnu Al-Manni (501-583 H)

Nama aslinya Abu Fathi Nasihuddin al-Hanbali. Seorang ulama Irak ahli fiqih yang belajar dari Abu Bakr ad-Dinawari.

Beliau meninggal pada hari Sabtu tanggal 4 Ramadhan dan dimakamkan pada hari Ahad. Masyarakat datang dari berbagai daerah dan sangat banyak. Karena merasa khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka para penguasa menugaskan sejumlah pasukan bersenjata untuk mengawal jenazah beliau.

12. Jamaluddin Abu Al-Hasan (586-646 H)

Dilahirkan di kota Qifthi, Mesir dan dibesarkan di Kairo. Beliau seorang qadhi (hakim).

Mengarang banyak kitab dan sebelum wafat beliau mewasiatkan agar kitab-kitabnya diserahkan kepada Nashir (pemuka Halab). Kitab-kitabnya bernilai 50.000 dinar.

13. Imam Nawawi (631-676 H)

Nama lengkapnya Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi al-Hizami al-Haurani asy-Syafi’i. Beliau menghafal kitab at-Tanbih dalam waktu empat setengah bulan. Dalam tahun yang sama beliau berhasil membaca dan menghafal seperempat kitab al-Muhadzdzab.

Beliau tidak pernah memakan buah-buahan. Beliau berkata, “Aku tidak mau memakan tubuhku, karena hal itu akan menyebabkan kantuk selalu datang.”

Dalam satu hari satu malam, beliau hanya makan dan minum sekali saja ketika sahur.

Karya beliau, di antaranya:

  1. Syarah Shahih Muslim
  2. Riyadhus Shalihin
  3. al-Adzkar
  4. al-Arba’in
  5. al-Irsyad fie Ulum al-Hadits
  6. al-Mubhamaat
  7. Tahrir al-Alfadz li at-Tanbih
  8. al-Umdah fie Tashhih at-Tanbih
  9. al-Idhah fi Manasik
  10. at-Tibyan fie Adabi Hamlati al-Qur’an
  11. Fatawa
  12. ar-Raudhah
  13. al-Majmu’

14. Ibnu Taimiyah (661-728 H)

Beliau telah mengarang 500 kitab. Dalam usia 19 tahun telah memberikan fatwa dan menyusun kitab. Beliau ahli nahwu, hadits dan tafsir.

Sampai-sampai ada yang berkata, “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah adalah bukan hadits.”

Beliau pun dijadikan sebagai referensi umat Islam dalam kutub tis’ah dan musnad.

Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara sehingga wafat dalam penjara. Ketika wafat, sekitar 60.000 orang datang melayat dan memakamkan jenazahnya.

15. Basyir Al-Ghazzi (1274-1330 H)

Lahir di kota Halab. Nama lengkapnya ialah Muhammad Basyir bin Muhammad Hilal al-Halabi. Dijuluki al-Ghazzi, karena beliau dibesarkan di rumah saudara seibunya yang bernama Syaih Kamil al-Ghazzi al-Halabi.

Beliau mulai menghafal al-Qur’an umur 7 tahun dan berhasil menghafalnya selama satu tahun. Beliau ahli ilmu jam tangan dan nahwu. Selain itu, beliau juga menghafal al-Fiyah dalam waktu 20 hari. []

9 Bentuk Godaan Setan, Hati-Hati!

9 Bentuk Godaan Setan, Hati-Hati!

Ibrahim bin Adham pernah mengingatkan setidaknya ada 9 tabir yang menghalangi kita dari bermesraan dengan Allah.

Salah satunya ialah, kita sadar bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Tetapi kita masih saja mengikuti langkah-langkahnya.

Secara garis besar, langkah setan ada dua, yaitu: Tadhlil (penyesatan) dan Labsul Haq bil Bathil (mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan). Penyesatan atau tadhlil ini ada banyak macamnya.

Maka inilah 9 bentuk langkah dan godaan setan yang wajib kita hindari.

1. Waswas

Setan kerap membisikkan hal-hal mengkhawatirkan jika seorang hamba hendak menaati Allah.

Selayak setan menebar waswas pada Adam dan Hawa, “Allah mencegahmu dari pohon itu, sebab Dia tak ingin kalian menjadi malaikat atau makhluk abadi.”

Padahal larangan mendekati pohon tersebut adalah mutlak. Tak boleh mendekatinya untuk alasan apa pun.

2. Nisyan (Lupa)

Tidak hanya bawaan sifat manusia, lupa pun kadang datangnya dari setan.

Kita dibuat lupa dari tuntutan sebagai seorang hamba, sebagai seorang Muslim. Kita lupa membalas jasa seseorang. Lupa mengerjakan kebajikan. Lupa menunaikan kewajiban.

3. Tamanni

Setan menanam angan-angan dalam benak kita, sehingga kita sibuk dalam bayang-bayang.

Bukannya beramal di alam kenyataan.

Contohnya, seorang pemuda yang lebih dikuasai bayangan indah pernikahan. Bukan sibuk persiapkan kemampuan untuk menikah.

4. Tazyin

Godaan setan lainnya ialah ia menghias apa pun. Baik pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Dengan demikian, yang busuk menjadi wangi, yang hina tampak mulia, yang nista terlihat cantik.

Sebagaimana orang-orang yang mengatakan zina itu bukan kejahatan, asal dilakukan atas suka sama suka. Riba dipoles namanya menjadi bunga. Bermaksiat itu hak asasi setiap orang.

5. Wa’d

Setan menebar janji-janji palsu. Seorang insan diseret pada kesesatan dengan manis, lalu setan ingkari.

Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. (Qs. Ibrahim: 22)

6. Kaid

Setan membangun tipu daya untuk menggerakkan musuh keimanan agar melakukan kerusakan. Padahal tipu daya setan sungguh teramat lemah.

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (Qs. An-Nisa: 76)

7. Taswif

Gaya lain setan menggoda manusia ialah membuat kita menunda beramal kebajikan.

Nanti saja shalatnya jika sudah sempat. Bisa juga, nanti saja sedekahnya kalau sudah kaya. Atau bisa jadi, nanti saja ibadahnya bila sudah tua.

8. Takhwif

Menakut-nakuti adalah langkah setan lainnya.

Jangan aktif di Rohis, nanti jadi teroris. Atau, jangan rajin ke masjid, nanti ditangkap. Ada juga, jangan berjilbab, nanti susah jodoh dan sulit cari pekerjaan. Tak usah membenahi kantor yang korup, nanti dijebak anak buah dan ditangkap KPK.

9. Labsul Haq bil Bathil

Yaitu ketika kejahatan tak lagi memikat, maka setan mencampurnya dengan unsur-unsur kebenaran.

Contoh, tetap memakai dalil, tapi maknanya disimpangkan. Menyelenggarakan acara yang seakan bernuansa keagamaan, tapi ujungnya kemaksiatan. Membawakan motivasi dan terapi yang sebenarnya berunsur kesyirikan, bahkan diembel-embeli dalil.

-Diolah dari buku Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah

Penuhi 5 Adab Ini Ketika Membaca Al-Quran

Penuhi 5 Adab Ini Ketika Membaca Al-Quran

Al-Quranul Karim adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak mengandung kebatilan sedikit pun.

Kitab ini memberi petunjuk berupa jalan yang lurus, serta membimbing manusia dalam menempuh setiap episode hidupnya.

Itu semua agar kita selamat di dunia dan akhirat, sekaligus dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebab itu, tiada ilmu yang lebih utama dipelajari seorang Muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Quran. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (H.r. Bukhari)

Ketika membaca Al-Quran, seorang Muslim perlu memperhatikan sejumlah adab sehingga mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membacanya.

1. Membaca dalam keadaan suci, serta duduk yang sopan dan tenang

Dalam membaca Al-Quran, seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Sebab, yang hendak dibacanya adalah firman Allah Yang Mahasuci. Para imam madzhab yang 4; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal pun menyarankannya.

Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan tidak suci.

Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Hazm. Imam Haramain berkata, “Orang yang membaca Al-Quran dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Quran (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (H.r. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian shahabat Rasul membenci pengkhataman Al-Quran sehari semalam, dengan dasar hadis di atas.

Rasulullah Saw. pun memerintahkan Abdullah bin Umar untuk mengkhatamkan Al-Quran setiap satu minggu (7 hari) (H.r. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit.

3. Membaca Al-Quran dengan khusyu’

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS: Al-Isra’: 109).

Hati mereka bergetar ketika nama Allah disebut. Jiwa mereka meradang ketika ayat-ayat Allah dilantunkan. Akhirnya mata mereka pun mengembun.

Perlahan setitis air membasahi kedua pipi mereka. Bulir-bulir air mata bahkan membasahi mushaf yang mereka baca.

Namun demikian, tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat. Tangisan orang-orang shalih adalah tangisan ketulusan yang berangkat dari jiwa yang rindu pada Rabbnya.

4. Membaguskan suara ketika membacanya

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (H.r. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim)

Dalam hadits lain disebutkan pula, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (H.r. Bukhari dan Muslim).

Maksud hadis ini adalah membaca Al-Quran dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhraj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Seseorang tidak perlu pula melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Quran dimulai dengan isti’adzah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’n, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS: An-Nahl: 98)

Membaca Al-Quran jangan sampai mengganggu orang yang sedang shalat. Tidak perlu pula membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ingatlah, setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Quran).” (H.r. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim)

Allahu a’lam. []