15 Ulama yang Tidak Menikah

Menikah merupakan salah satu ajaran penting di dalam Islam dan amat sesuai dengan fitrah manusia.

Hampir setiap manusia menginginkan pernikahan yang indah. Memiliki pasangan yang berakhlak baik dan keturunan yang shalih. Serta berharap seluruh anggota keluarga tetap bersama hingga meraih jannah.

Namun ternyata, ada beberapa ulama yang tidak menikah.

Usut punya usut, mereka bukan tidak ingin atau bahkan mengingkari syariat ini. Sebagian besar dari mereka adalah para pencinta ilmu. Waktu dan pikiran mereka habis untuk merenung, menulis, dan memikirkan permasalahan umat. Ditambah ada kekhawatiran, kesibukan mereka justru nanti membuat istri dan anak-anak mereka terlantar.

Siapa saja mereka?

Berikut di antara 15 ulama yang memutuskan untuk tidak menikah.

1. Abu Abdurahman Yunus bin Habib Al-Bashri (90-182 H)

Beliau merupakan seorang sastrawan dan ahli nahwu.

Banyak ulama yang belajar kepadanya seperti, Imam Sibawaih, al-Kisa’I dan al-Farra’.

2. Husain bin Ali Al-Ju’fi (119-203 H)

Orang sabar sekaligus tsiqah (terpercaya) dari Kufah.

Humaid bin Rabi’ al-Khazza berkata, “Kami telah menulis 10.000 hadits lebih dari Husain bin Ali al-Ju’fi.

3. Abu Nashr bin Al-Harits (150-227 H)

Lahir di Marwa 150 H, kemudian  sempat pindah ke Baghdad. Beliau meriwayatkan hadits dari Hammad bin Ziad, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Muhdi, Malik bin Anas, Abu Bakr bin Iyasy, Fudhail bin Iyadh dan lain-lain.

Banyak ulama yang meriwayatkan hadits darinya seperti, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibrahim al-Harbi, Zahir bin Harb, Sari as-Saqathi, Abbas bin Abdul Adzim, Muhammad bin Hatim dan lain-lain. Beliau wafat di usia 77 tahun.

4. Hannad bin As-Sariy (152-243 H)

Beliau merupakan ulama hadits dari Kufah. Diberi gelar raghib Kufah (pendeta Kufah) karena tidak menikah.

Usia beliau mencapai 91 tahun.

5. Abu Ja’far Ath-Thabari (224-310 H)

Beliau adalah ahli tafsir, hadits, dan fiqih. Lahir di daerah Amula, Tabaristan. Gemar mengembara ke Khurashan, Irak, Syam, dan Mesir untuk menuntut ilmu.

Telah hafal al-Qur’an pada umur 7 tahun, menjadi imam shalat sejak umur 8 tahun, menulis hadits sejak umur 9 tahun, mengembara ke daerah lain untuk menuntut ilmu sejak umur 12 tahun, dan menulis kitab sebanyak 40 lembar per hari selama 40 tahun.

Beliau memasuki kota Baghdad setelah Imam Ahmad wafat (241 H), sehingga tidak sempat bertemu dengannya.

Karya beliau, yaitu:

  1. Jami’ al-Bayan fi Wujuhi Ayi al-Qur’an
  2. Tarikh ar-Rasuli wal Anbiya’ wal Muluk wal Umam
  3. Tadzib al-Atsari wa Tafshil ats-Tsabit an Rasulillah n min al-Akhbari (belum selesai)
  4. Adab an-Nufus al-Jayyidah wal Akhlaq an-Nafisah

Abu Ja’far menulis hadits dari Ibnu Humaid sebanyak 100.000 hadits lebih ketika mengadakan perjalanan ke Kufah. Beliau mendengar hadits dari Abu Kuraib 100.000 hadits lebih.

6. Abu Bakar bin Al-Anbariy (271-328 H)

Beliau lahir di Baghdad. Kelebihan beliau ialah mampu menghafal 300.000 bait sya’ir yang memperkuat makna-makna al-Qur’an, serta hafal 120 tafsir al-Qur’an lengkap dengan sanad-sanadnya.

Beliau meninggalkan sekitar 30 kitab. Masing-masing kitab terdiri dati 50.000 lembar halaman lebih.

7. Abu Ali Al-Farisi (288-377 H)

Lahir di kota Fasa, Persia. Pada tahun 307 H, beliau pergi ke Baghdad untuk mencari ilmu dan tinggal disana.

Beliau mewarisi sekitar 25 kitab tentang Ulumul Qur’an dan bahasa Arab.

8. Abu Nashr As-Sijzi (wafat 444 H)

Nama lengkapnya ialah Ubaidilah bin Said Hakim bin Ahmad al-Waili al-Bakari. Beliau seorang hafidz dan imam para ahli hadits pada masanya.

Abu Ishaq al-Habbal berkata, “Pada suatu hari, aku berada di rumah Abu Nashr . Tiba-tiba ada seorang yang mengetuk pintu, maka aku berdiri membukakannya. Ternyata, dia seorang wanita yang membawa sebuah kantong uang berisi 1000 dinar. Dia meletakkkannya di hadapan Abu Nashr dan berkata, ‘Gunakanlah uang ini sesukamu!’

Abu Nashr pun bertanya, ‘Apa maksudmu?’

Wanita itu menjawab, ‘Menikahlah denganku. Sebenarnya aku tidak ingin menikah, tetapi aku hanya ingin membantumu.’

Mendengar itu, Syaikh Abu Nashr menyuruh wanita tersebut untuk mengambil kantong berisi uang itu dan membawanya keluar.

Setelah wanita itu keluar, Syaikh Abu Nashr berkata, ‘Aku datang dari negeriku, Sajastan. Dengan niat menuntut ilmu. Jika aku menikah, maka niatku itu akan luntur dan melemah. Oleh karena itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang dapat memalingkanku dari menuntut ilmu.’”

9. Abu Sa’ad As-Samman (371-445 H)

Beliau seorang hafidz, zuhud, menguasai ilmu qira’at, hadits, rijal, fara’id dan hisab. Abu Sa’ad belajar kepada 3000 ulama pada masanya dengan melakukan perjalanan ke Irak, Syam, Hijaz dan Maghrib.

Salah satu perkataannya yang terkenal ialah, “Barangsiapa yang tidak menulis hadits, maka ia tidak bisa merasakan manisnya Islam.”

Wafat di kota Rayyi dalam keadaan senyum. Beliau lantas dimakamkan di gunung Tabarak, dekat makam imam Asy-Syaibani pada usia 74 tahun.

10. Abu Barakat Al-Baghdadi (462-538 H)

Beliau seorang hafidz, alim, dan ahli hadits dari Baghdad. Beliau mendengarkan hadits dari Abu Muhammad Hazarmurdi ash-Sharifini, Abu Husain bin Naqur, Abu Qasim Abdul Aziz bin Ali Anmathi, Ali bin Muahammad al-Bundar dan lain-lain.

Karya beliau di antaranya adalah kitab al-Ja`diyat, Musnad Ya’kub al-Fasawi, Musnad Ya`kub al Fawasi, Musnad Ya’kub as-Sadusi dan intiqa al-Baqqal.

Banyak juga ulama yang meriwayatkan hadits darinya, seperti Ibnul Jauzi, Abu Sa’ad as-Sam’ani, Ibnu Asakir, dan lain-lain.

11. Ibnu Al-Manni (501-583 H)

Nama aslinya Abu Fathi Nasihuddin al-Hanbali. Seorang ulama Irak ahli fiqih yang belajar dari Abu Bakr ad-Dinawari.

Beliau meninggal pada hari Sabtu tanggal 4 Ramadhan dan dimakamkan pada hari Ahad. Masyarakat datang dari berbagai daerah dan sangat banyak. Karena merasa khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka para penguasa menugaskan sejumlah pasukan bersenjata untuk mengawal jenazah beliau.

12. Jamaluddin Abu Al-Hasan (586-646 H)

Dilahirkan di kota Qifthi, Mesir dan dibesarkan di Kairo. Beliau seorang qadhi (hakim).

Mengarang banyak kitab dan sebelum wafat beliau mewasiatkan agar kitab-kitabnya diserahkan kepada Nashir (pemuka Halab). Kitab-kitabnya bernilai 50.000 dinar.

13. Imam Nawawi (631-676 H)

Nama lengkapnya Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi al-Hizami al-Haurani asy-Syafi’i. Beliau menghafal kitab at-Tanbih dalam waktu empat setengah bulan. Dalam tahun yang sama beliau berhasil membaca dan menghafal seperempat kitab al-Muhadzdzab.

Beliau tidak pernah memakan buah-buahan. Beliau berkata, “Aku tidak mau memakan tubuhku, karena hal itu akan menyebabkan kantuk selalu datang.”

Dalam satu hari satu malam, beliau hanya makan dan minum sekali saja ketika sahur.

Karya beliau, di antaranya:

  1. Syarah Shahih Muslim
  2. Riyadhus Shalihin
  3. al-Adzkar
  4. al-Arba’in
  5. al-Irsyad fie Ulum al-Hadits
  6. al-Mubhamaat
  7. Tahrir al-Alfadz li at-Tanbih
  8. al-Umdah fie Tashhih at-Tanbih
  9. al-Idhah fi Manasik
  10. at-Tibyan fie Adabi Hamlati al-Qur’an
  11. Fatawa
  12. ar-Raudhah
  13. al-Majmu’

14. Ibnu Taimiyah (661-728 H)

Beliau telah mengarang 500 kitab. Dalam usia 19 tahun telah memberikan fatwa dan menyusun kitab. Beliau ahli nahwu, hadits dan tafsir.

Sampai-sampai ada yang berkata, “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah adalah bukan hadits.”

Beliau pun dijadikan sebagai referensi umat Islam dalam kutub tis’ah dan musnad.

Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara sehingga wafat dalam penjara. Ketika wafat, sekitar 60.000 orang datang melayat dan memakamkan jenazahnya.

15. Basyir Al-Ghazzi (1274-1330 H)

Lahir di kota Halab. Nama lengkapnya ialah Muhammad Basyir bin Muhammad Hilal al-Halabi. Dijuluki al-Ghazzi, karena beliau dibesarkan di rumah saudara seibunya yang bernama Syaih Kamil al-Ghazzi al-Halabi.

Beliau mulai menghafal al-Qur’an umur 7 tahun dan berhasil menghafalnya selama satu tahun. Beliau ahli ilmu jam tangan dan nahwu. Selain itu, beliau juga menghafal al-Fiyah dalam waktu 20 hari. []

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top