Siapakah yang Pertama Kali Membangun Masjid Al-Aqsha?

Siapakah yang Pertama Kali Membangun Masjid Al-Aqsha?

Masjid Al-Aqsha merupakan salah satu masjid kebanggaan umat Islam di seluruh dunia. Ia pun adalah kiblat pertama umat Islam.

Kemuliaannya bertambah sebab mengunjunginya menjadi Sunnah yang ditekankan setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Bahkan namanya diabadikan di dalam Al-Qur’an sebagai tempat Rasulullah Saw. hendak naik ke sidratul muntaha.

“Maha Suci Dzat yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, untuk Kami tunjukkan padanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (Qs. Al-Isra’: 1)

Masjid ini pun adalah masjid kedua yang dibangun di atas muka bumi.

Imam Bukhari dan Muslim menyebutkan, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ia bertanya pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi.

Rasul menjawab, “Masjidil Haram.”

“Selanjutnya masjid apa?” Abu Dzar melanjutkan tanya.

“Masjidil Aqsha,” Rasulullah menyahut.

Abu Dzar bertanya kembali, “Berapa lama jarak pembangunan keduanya?”

Rasulullah menjawab, “40 tahun.”

Jika Masjidil Haram mula-mula dibangun oleh para malaikat. Siapakah yang pertama kali membangun Masjid Al-Aqsha?

“Pendiri” Masjid Al-Aqsha

Adalah Hanafi Al-Mahlawi dalam buku Al-Amakin Al-Masyhuriyah fii Hayati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti yang dikutip Syahruddin El-Fikri dalam buku Sejarah Ibadah menyebutkan bahwa Masjid Al-Aqsha dibangun pertama kali oleh Nabi Ya’kub ‘alahissalam sekitar 2500 tahun SM.

Kemudian direnovasi oleh Nabi Daud pasca beliau menguasai kota Yerussalem dari masyarakat Yebusit. Selanjutnya Nabi Sulaiman menyempurnakannya, termasuk dengan membangun Haekal yang diklaim Yahudi sebagai hak mereka di atas tanah Palestina.

Sementara itu, makna nama Al-Aqsha sendiri berarti “yang terjauh”. Sebab jaraknya yang jauh dengan Ka’bah. “Sebagian ahli sejarah,” Ust. Salim A. Fillah menyebutkan dalam buku Lapis-Lapis Keberkahan, “menyatakan pula karena rentang waktu perjalanannya yang jauh. Dan dikatakan pula sebab ia telah dijauhkan dari segala kotoran yang menjijikkan.”

Beliau menambahkan, “Dan ia disebut Maqdis, menurut Imam Az-Zarkasyi dalam I’lamus Sajid bi Ahkamil Masajid, sebab ia dijauhkan dan dinihilkan dari berhala-berhala.”

Sungguh, berkunjung dan shalat di Masjidil Aqsha harus menjadi cita-cita bagi setiap Muslim. Beribu kemuliaan menanti para penziarahnya. Imam Ahmad dan Ibnu Majah bahkan membawa riwayat yang menyebut nilai shalat di sana adalah 1000 kali shalat di masjid lainnya.

Imam Ibnul Jauzy pun ketika menafsiri Ayat Isra’ dalam Zadul Masir menyatakan bahwa Masjid Al-Aqsha dilimpahi keberkahan duniawi yang amat luas.

Ia ada dalam hal penghidupan, makanan pokok, ladang, dan tanaman yang dibudidaykan para penduduknya.

Sungguh Allah telah menata musimnya, menurunkan hujannya, mengalirkan sungai-sungainya, mengembangbiakkan ternak-ternaknya, dan menumbuhkan buah-buahan yang bermacam rasa di berbagai musimnya.

Kawan, hampir seabad Zionis Israel mencengkramnya. Al-Aqsha masih menanti insan-insan pilihan yang akan memerdekannya. []

Kala Cucu Jengis Khan, Takluk Bukan oleh Pedang

Kala Cucu Jengis Khan, Takluk Bukan oleh Pedang

Ketika hari ini umat terasa sedang terpuruk, dunia Islam sekadar menyisakan jiwa-jiwa yang lemah, dan pedang-pedang perjuangan kian tumpul, patutnya kita kembali bercermin pada kisah para ulama terdahulu.

Merekalah yang disabdakan oleh Nabi; cahaya di tengah kegelapan. Menjadi harapan, saat umat kehilangan pegangan.

“Ketika Syaikh Jamaluddin dalam perjalanan bersama para pengikutnya,” tulis Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Tarbiyah Ruhiyah, “mereka melewati daerah kekuasan Sultan Taqlaq Timur Khan yang dipersiapkan sebagai tempat berburu. Atas perintah Sultan, mereka lantas ditangkap.”

“Kenapa kalian masuk daerah kekuasaanku tanpa izin?” bentak Sultan.

“Kami orang asing,” jawab Syaikh, “kami tak sengaja memasuki daerah terlarang.”

Ketika Sultan Taqlaq mengetahui bahwa mereka orang-orang alim dari Iran, ia berkata dengan nada mengejak, “Anjing saja lebih dari orang-orang Iran!”

“Ya,” sahut Syaikh tenang, “Anda benar. Seandainya Allah tidak memuliakan kami dengan agama yang benar, pasti kami lebih hina dari anjing.”

Sultan Taqlaq hanya tergelitik mendengar jawaban tersebut. Ketika melanjutkan kegiatan berburunya, kata-kata Syaikh Jamaluddin tidak dapat lepas dari pikirannya. Setelah selesai, ia meminta para pengawalnya untuk membawa kembali Syaikh. Lantas ia mengajaknya berbicara empat mata.

“Jelaskanlah apa yang kau katakan padaku tadi! Dan apa yang kau maksud dengan agama yang benar?”

Bukan Kalah oleh “Pedang”

Merasa mendapatkan peluang, Syaikh Jamaluddin pun menerangkan Islam dengan begitu indah, sehingga hati Sultan Taqlaq tertarik.

Beliau juga memaparkan kekufuran dengan paparan yang membuat Sultan merasa ngeri. Sultan pun yakin bahwa dirinya berada di jalan yang sesat dan berbahaya.

Namun, Sultan belum berani menyatakan keislamannya. Ia belum memiliki kekuasaan untuk mengajak pengikutnya masuk Islam. Sultan meminta Syaikh menemuinya kembali setelah ia diangkat menjadi raja.

Saat kembali ke Bukhara, Syaikh Jamaluddin jatuh sakit lalu meninggal.

Sebelum wafat, ia berpesan pada putranya, Rasyiduddin, “Suatu hari nanti Sultan Taqlaq akan menjadi seorang raja. Jika telah sampai berita itu, sampaikan salamku untuknya dan ingatkan ia dengan janjinya untuk masuk Islam setelah menjadi raja.”

Tatkala Sultan Taqlaq naik tahta, Syaikh Rasyiduddin datang menuju barak raja untuk menunaikan wasiat ayahnya. Namun, para pengawal melarangnya masuk. Ia pun mencari alternatif lain.

Suatu pagi, Syaikh Rasyiduddin azan dengan suara yang sangat keras di dekat kemah raja. Raja pun terbangun, kepalanya mendidih dan wajahnya memerah karena merasa terganggu oleh suara itu. Ia segera memerintahkan agar si pengganggu segera ditangkap serta dihadapkan padanya.

Sampai di hadapan raja, Syaikh Rasyiduddin langsung menyampaikan salam Syaikh Jamaluddin. Mendengar nama Jamaluddin, kepala Taqlaq Timur Khan perlahan mendingin. Ia teringat janjinya, dan saat itu pula menyatakan diri masuk Islam.

Keislaman cucu Jengis Khan ini pun diikuti oleh para pengikutnya. Bahkan Islam menjadi agama resmi di negara-negara yang ada di bawah kekuasaan putra-putra Jagtay bin Jengis Khan yang selama ini menganut agama Budha.

Sebakda bangsa Tartar membumihanguskan negeri-negeri Islam, umat betul-betul berada di jurang putus asa. Kekuatan Tartar seperti tak tertandingi. Seolah-olah Islam ditakdirkan untuk tunduk di bawah kekuasaan mereka.

Namun… Allah punya rencana lain.

Kekuatan Ruhiyah

Dia menyiapkan para ulama rabbani yang ikhlas dan jujur. Mereka menyelinap di tengah kebengisan pasukan Tartar. Membuka hati bangsa itu, hingga mereka masuk Islam secara berbondong-bondong.

Sungguh kita perlu sekali lagi menggali diri.

Ada orang yang lelah berdakwah, memberi ceramah hingga berbusa, teknik public speaking-nya di atas rata-rata, namun tak kunjung menghadirkan perbaikan. Petuahnya tak membuahkan amal.

Sedangkan ada orang yang tak cukup bicara banyak, namun kehadirannya sudah menggetarkan hati. Wajahnya yang teduh, cukup untuk mengingat Allah kembali. Taujih-nya membarakan semangat, menguatkan tekad, serta melahirkan kerja nyata.

Itulah kekuatan ruhiyah.

Kekuatan batin yang ada di balik segala kekuatan zahir. Menjadi pondasi, bahkan mampu menyatukan dua hati.

Ketika hari ini umat terasa sedang terpuruk, dunia Islam sekadar menyisakan jiwa-jiwa yang lemah, dan pedang-pedang perjuangan kian tumpul, ruhiyah adalah jawabannya.

Dengan ruhiyah itulah, pedang perjuangan kembali tajam, jiwa menjadi kokoh, dan Islam berada di jalur kebangkitannya. Insya Allah. []

Biografi Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Penulis Buku Sirah Nabawiyah Terbaik

Biografi Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Penulis Buku Sirah Nabawiyah Terbaik

Pada hari Jumat, 1 Desember 2006 silam atau bertepatan dengan tanggal 10 Dzul Qa’dah 1427 H, dunia Islam kehilangan salah satu aset berharganya. Sang ulama yang telah menelurkan berbagai kitab dan berkontribusi besar bagi pembinaan umat.

Ialah Syaikh Shafiyurrahman bin Abdullah bin Muhammad Ali bin Abdul Mu’min bin Faqirullah Al-Mubarakfuri, atau lebih akrab disebut Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri.

Lahir pada 6 Januari 1943 M, gelar Al-Mubarakfuri diperolehnya karena beliau lahir di kota Mubarakfur, India.

Lokasi tepatnnya berada di Provinsi Uttar Pradesh, sekitar 13 km dari kota Azamgarh. Kota yang didirikan oleh seorang raja bernama Mubarak Ali Shah ini dihuni oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam.

Syaikh Shafiyurrahman menamatkan seluruh studi formalnya di India. Pada tahun 1948 M, beliau masuk ke Madrasah Darut Ta’lim untuk menempuh level ibtidaiyah selama enam tahun.

Selanjutnya ia fokus mempelajari bahasa Arab, tafsir, hadis, ushul fikih, fikih, dan ilmu-ilmu syar’i lainnya di Madrasah Ihya’ul Ulum pada Januari 1954. Setelah lima tahun belajar di sana, beliau akhirnya lulus dengan predikat mumtaz (cum laude).

Lebih hebatnya lagi, sebelum lulus, beliau sudah memperoleh ijazah untuk gelar Maulawi pada Februari 1959. Di tahun berikutnya, beliau berhasil menyabet gelar Alim dari Hai’ah Al-Ikhtibarat li Al-‘Ulum Asy-Syarqiyyah pada Februari 1960.

Kemudian beliau menularkan ilmunya dengan menjadi dosen di Universitas Salafiyah, kota Banares. Di kampus tersebut, beliau juga menjabat sebagai pimpinan redaksi majalah bulanan bernama Muhaddits.

Beberapa waktu kemudian, pada tahun 1988 M beliau mulai bekerja di Universitas Islam Madinah. Selama 10 tahun, Syaikh Shafiyurrahman mengabdikan dirinya di Markaz Khidmah As-Sunnah An-Nabawiyah.

Selanjutnya beliau pindah ke Riyadh untuk mengawasi persiapan percetakan kitab-kitab hadis yang diterbitkan oleh Darus Salam.

Sirah Nabawiyah dan Karya Lainnya

Kemampuan beliau dalam khazanah keIslaman semakin terbukti ketika Syaikh Shafiyurrahman berhasil melahirkan berbagai karya yang hingga kini terwarisi manfaatnya bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Di antara karya-karya beliau, yaitu:

  1. Syarah singkat dari kitab hadis ternama; Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar Al-Asqalani.
  2. Raudhah Al-Anwar fi Sirah An-Nabi Al-Mukhtar Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sebuah kitab ringkas mengenai perjalanan hidup Rasulullah Saw.
  3. Ketika Bulan Terbelah.
  4. Sejarah Mekkah Al-Mukarramah.
  5. Sejarah Madinah Al-Munawwarah.
  6. Ar-Rahiq Al-Makhtum.

Kitab terakhir yang disebut itu merupakan sebuah kitab fenomenal di dunia Islam. Ar-Rahiq Al-Makhktum berhasil menjadi juara I dalam Lomba Penulisan Sirah yang diselenggarakan oleh Rabithah Alam Islami pada tahun 1396 H.

Selain berbobot ilmiah, Sirah Nabawiyah yang ditulisnya begitu sistematis, lengkap, kalimatnya indah, dan gaya penulisannya pun ringan. Sehingga mudah dipahami oleh orang awam sekali pun.

Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Di Indonesia sendiri, buku ini juga telah diterjemahkan oleh beberapa penerbit.

Salah satu yang terkenal ialah buku terbitan Pustaka Al-Kautsar. Terjemahan kitab ini dicetak dalam dua bentuk; hardcover dan softcover. Isinya sama, hanya bentuk sampul dan jenis kertasnya saja yang berbeda.

Yang tak kalah menarik ialah terjemahan versi penerbit Ummul Qura. Ukurannya lebih tebal karena memuat pula peta perjalanan Nabi Muhammad serta takhrij hadis dari Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Bahkan tersedia juga CD interaktif di dalamnya.

Semoga seluruh warisan beliau dapat dinikmati oleh seluruh kaum muslimin serta berbuah amal jariyah baginya. Semoga pula kita dapat meneladani kehidupannya yang tak kenal lelah untuk belajar dan mengajar.

Buku-buku beliau, terutama Sirah Nabawiyah atau Ar-Rahiq Al-Makhtum dapat dipesan di Arslanesia.com melalui Whatsapp 0812 9968 4355 (Admin Hary).